Sejarah Khilafah 'Alaminhajin Nubuwwah

Musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi I

Pada tahun 1376 H (1956 M), tiga tahun setelah diumumkan adanya Hizbullah berbentuk Jama’ah, diadakan musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi yang pertama, 15-18 Jumadil Awal 1376 (18-21 Desember 1956 M), di jalan Menteng Raya 58 Jakarta. Musyawarah tersebut tidak dilakukan melalui muktamar atau kongres, tetapi semaksimal mungkin mengikuti jejak yang telah dilakukan para pemimpin muslimin dahulu, dengan landasan Al-Qur`anul Karim.

Masalah yang dibicarakan sangat penting bagi muslimin, yaitu meninjau apakah muslimin sekarang ini telah sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau belum? “Mengapa golongan lain bisa bersatu dengan otak dan nafsunya, sedangkan muslimin, hamba-hamba Allah yang Rabb-nya memerintahkan untuk menyatukan muslimin sedunia dalam satu pimpinan, serta Rasul-Nya dan Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin telah mencontohkannya, tidak bisa seperti mereka?”

Golongan-golongan lain, yang serba Internasional dan merangkul dunia, seperti Katolik, Zionisme, Komunisme, Sosialisme atau Kapitalisme mampu mengadakan gabungan yang bersifat Internasional. Mengapa mereka dengan menggunakan otak dan pengalaman-pengalaman mereka dapat melakukannya? Sedangkan muslimin yang memiliki Al-Qur`an, wahyu-wahyu Allah, dan Sunnah Rasulullah, tidak bisa?

Mengapa muslimin tidak bisa melaksanakan hal itu? Padahal banyak yang ingin menjadi shalihin dan orang-orang yang muttaqin. Mengapa kaum muslimin tidak mau mendengarkan panggilan Allah dan Rasul-Nya untuk bersatu padu di dalam Islam? Ini suatu kejanggalan! Satu abnormalitas dalam sejarah.

Dalam penelitian itulah, Ahlul Halli Wal Aqdi pertama mengambil suatu keputusan, “Wajib adanya satu Jama’ah dan satu Imamnya, dan hendaknya dunia Islam berlomba-lomba ke arah itu. Adakan satu pimpinan karena Allah semata-mata.” Yang dipimpinkan itu ialah pimpinan Allah dan Rasul-Nya. Insya Allah, akan menjadi barakah. Inilah yang diserukan dan diputuskan dalam sidang Ahlul Halli Wal Aqdi pertama, yang merupakan acara pokok pada waktu itu.

Acara pokok kedua ialah menyeru kaum muslimin agar tidak memihak pada salah satu blok yang ketika itu sedang ramai-ramainya diikuti. Ada blok Timur, Blok Barat, blok Amerika, blok Rusia, seperti blok Komunis, blok Kapitalis. Musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi pertama menyerukan agar kaum muslimin kembali kepada pimpinan Allah dan Rasul-Nya, dalam satu Jama’ah Muslimin sebagai rumahnya sendiri. Hal ini ditujukan agar kaum muslimin tidak seperti pelanduk kecil yang mati di tengah-tengah dua gajah yang bertarung. Kemudian, kaum muslimin dianjurkan untuk berlomba-lomba merealisasikan keputusan itu.

Musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi pertama tidak saja dihadiri oleh kalangan Hizbullah, tetapi juga para alim dan za’im di luar Hizbullah. Ini berbeda dengan kongres yang diadakan oleh partai politik, yang lazimnya hanya dihadiri oleh cabang-cabang, wilayah-wilayah atau peninjau-peninjau tertentu saja.

Keputusan Musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi pertama tersebut tidak saja dianggap penting oleh Hizbullah, tetapi juga oleh para alim ulama, antara lain Ustadz Djamalullail, yang turut menganalisis dalil-dalil tentang wajibnya Jama'ah bagi muslimin, kemudian membenarkannya.

Keputusan ini dikumandangkan ke dunia Islam melalui radio oleh Ustadz Abdullah bin Nuh yang waktu itu menjabat kepala penyiaran luar negeri RRI bagian bahasa Arab.

Sambutan/Tanggapan atas keputusan Ahlul Halli Wal Aqdi I

Pada tahun 1378 H (1958 M), dua tahun sesudah keputusan itu, ternyata hanya dua orang yang menyambut putusan tersebut. Selebihnya tidak ada sambutan dari muslimin, baik dari tokoh-tokoh partai di Indonesia ataupun tokoh-tokoh muslimin dari luar Indonesia.

Sambutan pertama datang dari seorang ikhwan, yaitu M. Isa Anshary dari Bandung. Beliau mengirim surat dan menyatakan salut terhadap keputusan tersebut. Sambutan lainnya datang dari Harsono Tjokroaminoto, yang pernah menjadi duta besar, kalau tidak khilaf, di Swiss (Switzerland) berkedudukan di Jenewa.

Setelah membaca bundel dari Hizbullah (berupa dalil-dalil qath’iy Al-Qur`an dan Al-Hadits) tentang apa yang diputuskan dan beberapa penjelasannya, kedua ikhwan tersebut mengirim surat yang berisi doa, agar semua itu memberikan manfaat bagi muslimin.

Evaluasi

Pada tahun itu juga (1958) diadakan malam tasyakur di gedung Prajurit Diponegoro, jalan dr. Wahidin, dekat Lapangan Banteng, Jakarta. Tujuan penyelenggaraan acara tersebut adalah memperingatkan kaum muslimin sejagad yang tidak menyambut keputusan sepenting itu. Padahal keputusan tersebut jelas-jelas tercantum dalam Kitab Suci Al-Qur`an, surat Ali Imran 102?-103. Mengapa mereka tidak mau melaksanakannya?

Diperingatkan juga, kalau para ikhwan di dunia Islam, para tokoh muslimin di Indonesia dan di luar Indonesia tidak mau mendengar seruan Allah subhanahu wa ta'ala yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian dilanjutkan Khulafaur Rasyiddin Al-Mahdiyyin, maka dengan kemampuan yang dikaruniakan Allah, Insya Allah, Hizbullah tetap akan melaksanakannya karena menyadari bahwa masalah itu wajib hukumnya, dan tentu saja karena Allah semata-mata. Musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi II Pada tanggal 27-29 Rajab 1378 H (6-8 Februari 1959 M) Jama'ah Muslimin (Hizbullah) mengadakan musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi kedua di Masjid Taqwa, Petojo Sabangan, Jakarta. Musyawarah ini ditujukan untuk mengevaluasi sampai dimana realisasi umat Islam dalam menerima putusan Ahlul Halli Wal Aqdi pertama.

Akhirnya, dengan takdir Allah subhanahu wa ta'ala dan kemudahan yang dikaruniakan Allah, dijumpai hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Hudzaifah bin Al-Yaman radliallahu 'anhu. Hadits tersebut memberi jalan bahwa dalam menghadapi situasi pecah-belahnya umat Islam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya, muslimin. 

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ 

“Tetaplah engkau pada jama'ah Muslimin dan Imam mereka.”.

Kedudukan hadits ini shahih. Hadits ini, tidak saja diriwayatkan Bukhari-Muslim dalam Shahih-nya, tetapi juga diriwayatkan Ibnu Majah dan Ahmad. Hadits ini sungguh meringankan dalam melaksanakan keputusan musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi yang pertama di Jakarta. Setelah dibahas, ditinjau dari rupa-rupa segi, akhirnya terdapat suatu keputusan bahwa Hizbullah inilah satu-satunya Jama'ah Muslimin di dunia. Keputusan ini diambil pada musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi kedua kemudian disiarkan ke luar negeri melalui radio oleh Ustadz Abdullah bin Nuh, Kepala Penyiaran Luar Negeri RRI bagian bahasa Arab. Inilah Jama'ah Muslimin (Hizbullah) yang dikaruniakan Allah subhanahu wa ta'ala sebagai satu pertolongan atau satu jalan keluar untuk menyatukan kaum muslimin.

Dalam musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi kedua itu, dengan takdir dan izin Allah subhanahu wa ta'ala, kami dibai’at kembali sebagai Imaam. Penelitian hadits-hadits mengenai Jama'ah berjalan terus dan ternyata banyak sekali, misalnya terdapat pada kitab-kitab yang biasa ditelaah di pesantren-pesantren, yaitu Riyadush Shalihin yang menyebutkan hal ihwal tentang Jama'ah, Imaamah, Bai’at, dan Taat. Jadi, jelaslah bahwa terjadinya gerakan Islam “Hizbullah” yang berbentuk Jama'ah, kemudian menjadi Jama'ah Muslimin (Hizbullah), melewati proses dan musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi. Landasannya tidak saja terdapat dalam kitab suci Al-Qur`an, surat Ali Imran ayat 102-103, tetapi juga hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut. 

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ

Perintah Rasulullah ini merupakan jalan keluar dari keadaan yang tidak menyenangkan dan perpecahan menjadi satu, dari rendah menjadi mulia kembali, dengan pimpinan Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah tugas utama muslimin.

Kalau dalam sejarah perjalanan Jama'ah Muslimin (Hizbullah), terlontar pertanyaan, “Mengapa ada Jama'ah Muslimin dengan Imaamnya? Mengapa saya tidak dipanggil? mengapa saya tidak diajak bicara sama si fulan, si fulan, si fulan, tokoh-tokoh Islam lainnya? Jawabannya adalah mereka sudah dipanggil, tetapi tidak mau mendengar dan tidak mau datang. Konferensi Pers Dalam musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi yang kedua, setelah diputuskan adanya Jama'ah Muslimin (Hizbullah), diadakan konferensi pers di Cideng Timur 53, Jakarta. Wartawan dalam dan luar negeri diundang ke konferensi pers itu, yang dilangsungkan pada hari Senin, 16 Februari 1959 M. Di sana ditegaskan bahwa: Atas dasar perhitungan jumlah ummat Islam sedunia yang merupakan seperlima dari penduduk dunia, jumlah kaum muslimin itu lebih kurang 600 juta manusia (tahun 1959). Mereka tersebar di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia, Semenanjung Balkan, Rusia Selatan, Tiongkok Barat, dan Asia Tenggara, yang terbagi lebih dari dua puluh negeri besar dan kecil. Menurut tinjauan dien dan tarikh Islam, pimpinan terbaik yang bersifat sentral sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah sampai pada masa Khulafaur Rasyiddin Al-Mahdiyyin hingga tahun keempat puluh hijrah, yaitu pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radliallahu 'anhum. Sesudah masa tersebut, sekalipun dalam beberapa abad lamanya umat Islam mengalami masa gemilang, telah terdapat keretakan di bagian dalam sebagai akibat penyimpangan mereka pada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pada zaman itu tercampurlah antara hak dan batil yang terus menerus, sehingga pimpinan mereka tidak lagi bersifat sentral dan kesatuan mereka tidak merupakan satu Jama'ah. Akhirnya dalam kancah peperangan dunia pertama, kejayaan mereka sama sekali terhapus. Mereka tidak lagi mempunyai satu pimpinan dan tidak pula memiliki Jama'ah. Yang ada ialah kedukaan suatu umat yang tertimpa murka Allah, laksana bangkai terserak-serak di bawah selimut kehinaan, terinjak-injak dan terbelenggu dalam penjajahan imperialisme Barat dan Timur.

Memang, pada hakekatnya pimpinan yang sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mulai terhapus sejak Muawiyyah menggantikan Khilafah dengan kekuasaan yang bersifat kerajaan. Secara formal, kekuasaan kerajaan Utsmaniyyah Turki mengakhiri kepemimpinan tunggal dalam Islam, yaitu pada masa Sultan Abdul Majid yang dihapuskan oleh Allah azza wa jalla dengan bangkitnya nasionalisme Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasya hingga pertengahan abad ke-20. Lebih kurang empat puluh tahun lamanya kepemimpinan tunggal muslimin yang bersifat universal tidak ada lagi pada mereka (vakum). Keadaan muslimin dan ummat manusia di dunia umumnya yang semakin memburuk, sebenarnya telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya. Keburukan itu tidak saja mengenai segi materielnya, dengan terjadinya berbagai bencana alam dan peperangan serta kerusuhan besar dan kecil, di daratan dan lautan, melainkan juga mengenai segi akhlaq atau budi pekerti. Kerusakan ini telah merata di seluruh muka bumi, baik di Timur apalagi di Barat.

Peperangan dan kerusuhan antar sesama anak cucu Adam dewasa ini umumnya disebabkan perebutan benda dan kekuasaan, bukan untuk menegakkan kebenaran dan ketinggian moral. Untuk menghadapi keruntuhan moral ummat manusia pada umumnya dan kerusakan kaum muslimin pada khususnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan dalam satu haditsnya bahwa kaum muslimin wajib berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (Al-Qur`an dan Al-Hadits), dengan wujud zahirnya menegakkan satu Jama'ah dan mengangkat Imam di antara mereka. Maka dalam melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam itulah, Hizbullah mengadakan musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi pertama dan kedua dengan mengambil kata sepakat, “Atas pilihan dan karunia Allah subhanahu wa ta'ala semata-mata, Hizbullah menyatakan dirinya sebagai satu-satunya Jama'ah bagi muslimin seluruh dunia, Insya Allah, mulai detik ini hingga hari Kiamat. Allahu Akbar! Adapun hakikatnya Hizbullah ialah Jama'ah dari sekalian Nabi dan Rasul serta pengikutnya di setiap zaman.” Bersedia jadi Makmum Begitulah detik-detik permulaan Jama'ah Muslimin (Hizbullah), dan dengan penuh tawadlu kami memberi kesempatan bagi mereka yang bersedia memikul beban berat, yakni menjadi Imam. Biarlah kami menjadi “Imam sementara,” sambil mencari informasi bila telah ada Jama'ah yang lebih dahulu muncul daripada kami, dan telah mengamalkan perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

 تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ

Baik di Pakistan, di Jazirah Arabia, Irak, Iran, atau pun Aljazair, niscaya kami bersedia menjadi makmum. Jadi kami menarik satu konsekwensi, kalau memang sudah ada lebih dahulu muslimin menetapi Jama’ah dan Imamnya, kita makmum.* 

Tidak ada masalah prosessi di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala, masalahnya ridla Allah. Dan kami menyadari bahwa tidak boleh ada dua Imam dan tidak boleh ada dua Jama'ah 

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا {رواه مسلم} 

(Shahih Muslim, bab Idza buyi’a li Khalifataini, juz 2, halaman 137).

Akan tetapi, pada kenyataannya, setelah mendengar komunikasi dunia Islam, terlebih lagi dengan adanya konferensi Islam 38 negara di Karachi pada tahun 1394 H (1974) ketika Presiden Uganda, Idi Amin, didukung oleh Senegal mengusulkan agar mengangkat seorang Khalifah, kami yakin bahwa belum ada Jama'ah dengan satu Imaamnya. Hal ini menguatkan bahwa tidak ada Jama'ah di luar Jama'ah Muslimin (Hizbullah). * Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ {رواه البخاري عن أَبي هُرَيْرَةَ}

 “Adalah bani Israil selalu dipimpin oleh Nabi-Nabi mereka. Setiap meninggal seorang Nabi, maka Nabi itu diganti oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku, dan akan ada khalifah-khalifah, maka banyaklah jumlah mereka. Para sahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab: “Sempurnakanlah bai’at yang telah kamu berikan kepada yang pertama. Kemudian kepada yang datang sesudahnya. Berilah kepada mereka segala haknya. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka tentang apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Shahih Bukhari, bab Ma Dzukira fi bani Israil, juz 2 halaman 257; Shahih Muslim, Kitabul Imarah bab al-amru bil wafaai bibai’atil Khulafail Awwali, juz 2 halaman 132).

Musyawarah Alim Ulama dan Zuama Pada tanggal 25-27 Jumadil awal 1394 H (15-17 Juni 1974 M), Jama'ah Muslimin (Hizbullah) menyelenggarakan musyawarah antara Alim ulama dan Zuama, serta, organisasi-organisasi Islam tingkat Puncak Seluruh Indonesia di Aula Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta.* Tujuannya adalah mendapatkan satu kesatuan bulat ummat Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menuju ridla Allah subhanahu wa ta'ala.Musyawarah tersebut tidak saja dihadiri ikhwan dari Jama'ah Muslimin (Hizbullah), tetapi juga oleh mereka yang belum termasuk di dalamnya. 

Duduk dalam panitia perumus, antara lain Prof. Kamil Kartapradja, Profesor dan Guru besar serta Dekan Universitas Muhammadiyah dan IAIN Yogyakarta serta K.H.S.S. Djam’an (seorang alim dari Tanah Tinggi Jakarta yang tak pernah absen dalam setiap perjuangan kaum muslimin dan membelanya). Sekalipun belum termasuk Jama'ah Muslimin, beliau menjadi pembela Jama'ah Muslimin mulai tahun 1378 H (1959 M), yaitu musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi kedua. Anggota tim perumus lainnya ialah K.H.A. Badri Sanusi, K.H. Djalaludin BBA, Kyai Adib Elyasi, seorang alim dari Cilacap, M. Dachlan Lanisi BA, tokoh pergerakan yang giat dalam perjuangan muslimin sejak Kongres Muslimin seluruh Indonesia di Yogyakarta, A. Karim SH, Ahmad Ihsan Putera, dan A. Fadlil Aly Siradj. Dalam musyawarah itu diambil suatu keputusan. Alhamdulillah, dengan adanya keputusan itu, diperoleh suatu kedudukan obyektif dari masyarakat Islam yang diwakili oleh mereka yang cukup representatif, mewakili kaumnya masing-masing. 

Mereka membenarkan, bahwa Jama'ah Muslimin (Hizbullah) adalah haq dari Allah subhanahu wa ta'ala berdasarkan dalil-dalil yang qath’iy dari Al-Qur`an dan hadits-hadits yang shahih.

Dalam musyawarah ini selain para ulama dan zuama, juga hadir antara lain Drs. Ali Imron Kadir, anggota DPR/MPR, Waka Bakin Ali Murtopo, Drs. H. Zubaidi Badjuri mewakili Menteri Agama RI Prof Mukti Ali ** Panitya perumus memutuskan: Menerima Jama'ah Muslimin (Hizbullah) sebagai satu-satunya wadah bagi seluruh muslimin dengan Imamnya Wali Al-Fattaah, seraya menthaatinya karena Allah subhanahu wa ta'ala selama beliau menthaati Allah dan Rasul-Nya. Mendakwahkan Jama'ah Muslimin sebagai tersebut pada nomor 1 kepada segenap ummat Islam, (ulama dan zuama, organisasi-organisasi Islam), untuk menetapinya karena Allah semata. Segala sesuatu yang timbul akibat keputusan ini, harus diselesaikan dengan dalil-dalil qath’iy, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Ditetapkan di Jakarta, pada 27 Jum. Awwal 1394 H 17 Juni 1974 M

Panitya Perumus, Ttd A. Fadlil Aly Siradj Melengkapi keputusan musyawarah tersebut, dikeluarkan pernyataan sebagai berikut: Jama'ah Muslimin (Hizbullah) menerima kepemimpinan Presiden Republik Indonesia, Soeharto atas bangsa dan negara Republik Indonesia, sebagai kenyataan sejarah dengan diiringi doa semoga beliau sukses dalam memenuhi hasrat terbanyak bangsa Indonesia dengan ridla Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jama'ah Muslimin (Hizbullah) bersikap terbuka terhadap golongan lain, sesuai dengan Kenabian dan Kerasulan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Mengharapkan kepada penguasa di seluruh Indonesia supaya usaha Jama'ah Muslimin (Hizbullah) dalam mewujudkan kesatuan ummat Islam dalam satu wadah dapat dilapangkan dan disokong atas dasar saling pengertian yang positif. Ditetapkan di Jakarta, pada:

27 Jum. Awwal 1394 H.

17 Juni 1974 M

Imam Jama'ah Muslimin (Hizbullah)


bersambung..  Sejarah lanjutan 

Post a Comment

Previous Post Next Post