lanjutan sejarah khilafah alaminhajinn nubuwah

Wali Al Fattaah Riwayat Perjuangan

Wali Al Fattaah dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 22 Ramadlan 1326 H (18 Oktober 1908 M). Beliau adalah hamba Allah yang tidak memiliki kelebihan apapun dibandingkan manusia ciptaan Allah lainnya. Akan tetapi, perjuangannya dalam menyeru umat Islam agar kembali kepada pimpinan Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, tampak menonjol dibandingkan dengan para pemuka dan pemimpin Islam lainnya. Hingga akhir hayatnya, Wali Al Fattaah menyeru agar setiap gerak hidup dan kehidupan umat Islam dikembalikan kepada Allah dan untuk Allah. Ia berjuang untuk meluruskan dan merapatkan shaf muslimin serta bersama-sama muslimin menuju mardlatillah.

Di kalangan para tokoh muslimin dalam pergerakan Islam dan kemerdekaan Indonesia serta pers, baik pada zaman penjajahan maupun setelah kemerdekaan Indonesia, Wali Al Fattaah dikenal sebagai wartawan dan tokoh pergerakan Islam. Ia menjabat Sekretaris Umum Pengurus Besar PARII (Partai Islam Indonesia) bersama Dr. Soekiman Wirjosanjoyo.

Kemudian bersama-sama dengan Soekiman dan Wiwoho Purbohadidjoyo, Wali Al Fattah membentuk PII (Partai Islam Indonesia) di Surakarta pada awal Desember 1938. Dalam partai ini pun, ia menjabat Sekretaris Umum Pengurus Besar. Tokoh lainnya ialah K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah, Kasman Singodimejo, Farid Ma’ruf, dan lain-lain Muhammad Natsir ketika itu menjabat sebagai ketua cabang PII di Parahyangan.

Dalam suatu muktamar di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945, atas ikrar bersama para pemimpin partai politik Islam serta berbagai perkumpulan agama dan sosial Islam, Wali Al Fattaah diangkat sebagai Ketua Muda II Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Tokoh lainnya dalam PB Masyumi ialah Dr. Soekiman (Ketua), Abikusno Tjokrosujoso (Ketua Muda I), Harsono Tjokroaminoto (Sekretaris I), Prawoto Mangkusasmito (Sekretaris II), Mr. R.A. Kasmat (bendahara). Adapun dalam Majelis Syuro, Syeikh K.H. Hasjim Asj’ari diangkat sebagai ketua umum, Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I), K.H. Wahid Hasjim (Ketua Muda II), dan Mr. Kasman Singodimedjo (Ketua Muda III). Anggota Pengurus Besar lainnya adalah Wondoamiseno, Mr. Moh. Roem, Muhammad Natsir, Dr. Abu Hanifah, dan lain-lain.

Dalam Komite Nasional Indonesia cabang Yogyakarta, Wali Al Fattah diangkat sebagai Ketua Penerangan Masyumi dan kepala bagian penerangan. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1946, ia menjabat Ketua Muda II dalam PB Masyumi, juga Ketua Sekretariat Persatuan Perjuangan mewakili PB. Masyumi di Yogyakarta, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan Residen Pekalongan, yang kemudian terkenal dengan Peristiwa Tiga Daerah.

Dalam usaha mempersatukan dan kerja sama antarummat Islam untuk mencari bentuk kesatuan muslimin sekaligus menghindari perpecahan, Wali Al Fattaah memprakarsai berdirinya Kongres Muslimin Indonesia (KMI), dengan dukungan rekan seperjuangannya, yaitu H.M. Kamar, Syeikh Muhammad Ma’sum, Kyai Muslimin, Kyai Abdullah, A.A. Ariansjah, Kyai H.M. Sudja’, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Fachrudin Al Kathiri, H. Abu Bakar, Kyai Muhammad Zen, Kyai H.M. Farid Ma’ruf, Husin Yahya (Guru Besar UII).

Kongres Muslimin Indonesia berlangsung di Yogyakarta dari tanggal 1-5 Rabi’ul Awwal 1369 H (20-25 Desember 1949 M) dan dihadiri oleh para alim ulama dan zu’ama dari seluruh Indonesia. Sebenarnya, pembentukan KMI mulai dirintis sejak awal tahun 1949. Namun pada tahap persiapannya, H.M. Kamar ditangkap Belanda yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia dengan kekuatan senjata.

Dalam kongres tersebut, Wali Al Fattah diangkat sebagai Ketua Umum Panitia Pusat Kongres Muslimin Indonesia (PPKMI), Syeikh Muhammad Ma’sum sebagai penasihat agama KMI, H.M. Shaleh Suaedy (Sekjen PPKMI), sekretaris Umum Partai Islam Indonesia (PII) A. Halim M.A. Tausikal (Bagian Penerangan Pemuda Islam). Kyai H.M. Sudja’ (Anggota Dewan Perancang KMI) R. Mirza Sidharta (Ketua Bagian Keuangan), R. Muslimin (Sekretaris Keuangan PPKMI), A.A. Ariansjah (Sekretaris PPKMI).

Sekalipun kongres tersebut berhasil baik, keputusan dan usahanya belum mencapai tingkatan yang asasi bagi kesatuan umat Islam. Kerinduan Wali Al Fattaah bagi terwujudnya satu kesatuan umat Islam dengan satu pimpinan, tercermin pula dalam seruannya kepada para pemimpin dan pemuka umat Islam dalam kongres alim ulama/mubalighin seluruh Indonesia di Medan pada tanggal 27-28 Jumadil Akhir 1372 H (14-21 Maret 1953 M).

Dalam kongres ini, ia menyatakan, “Apabila organisasi-organisasi Islam, baik yang berpolitik ataupun tidak, kembali kepada pimpinan Allah dan Rasul Nya, Insya Allah umat Islam akan bersatu. Akan tetapi, kalau hanya mengutamakan pendapatnya masing-masing, sekalipun katanya ikhlas, apalagi bila tidak ikhlas sehingga gelap gulita dikeliling umat, mereka akan mencari jalan sendiri-sendiri dan mencoba mencari pendapat lain yang lebih baik. Oleh karena itu, marilah kita bersatu dengan berpegang pada tali Allah dan Rasul-Nya. Kalau hanya dengan pendapat saja, kita tidak akan mencapai persatuan.”

Alim ulama dan zu’ama yang hadir dalam kongres di Aula Universitas Islam Sumatera Utara, antara lain Syafi’i Tgk. Sutan, H. Moch. Ali Nurdin (Sumatera Barat), H. Moch Abduh (Makasar), H. Darwis Djambak (Sumatera Tengah), H. Abd. Halim Hasan (Sumatera Timur), H. Abu Bakar Bestari (Palembang), Jahja Badin (Aceh Utara), H. Zainudin Hamidi (Payakumbuh), Ahmad Jusuf (Kalimantan Timur), H.S. Muntu (Makassar), Abd. Manan Malik (Labuan Batu), A. Husin Al Mujahid (Aceh), M. Arsjad Thalib Lubis (Medan), Rangkajo Rahmah El Junusijah (Sumatera Tengah), H. Adnan Lubis, Kyai H. Imam Gazalli (Solo), Syeikh Sulaiman Arrasuli (Bukittinggi), Isa Anshari (Jawa Barat), Tgk. Abd Wahab (Aceh), Muhammad El Habsji (Sunda Kecil), Kyai H. Ramli (Sulawesi), M. Hanafi Goebed (Kalimantan), H.M. Saleh Suaedy, dan Wali Al Fattaah (Jakarta).

Pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H (20 Agustus 1953 M), Wali Al Fattaah bersama muslimin lainnya, termasuk salah seorang alim ahli hadis, Syeikh Muhammad Ma’sum, menetapi Jamaah Muslimin (Hizbullah). Dengan tujuan untuk memenuhi perintah Allah dan rasul Nya, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam agar kaum muslimin berjama’ah dan menjauhi firqah-firqah. Keputusan ini secara terbuka diumumkan pada upacara resmi di Gedung Adhuc Staat (sekarang Bappenas), jalan Taman Surapati No, 1, Menteng Raya, Jakarta. Di antara anggota parlemen yang hadir adalah M. Isa Anshari dan Nur Ibrahim *. Pada waktu itu, Wali Al Fattaah dibai’at sebagai Imam.

Dengan meninggalkan cara perjuangan yang pernah ditempuh sebelumnya, Wali Al Fattaah bersama-sama muslimin lainnya berusaha menempuh perjuangan menurut Khiththah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bagi terwujudnya satu kesatuan muslimin yang diridlai Allah subhanahu wa ta'ala. Kemudian pada 8 Jumadil ‘Ula 1374 H (3 Januari 1955 M), Wali Al Fattaah secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari Masyumi.

Sikapnya yang keras dan tegas menentang komunisme diungkapkan pada Muktamar Alim Ulama seluruh Indonesia di Palembang, 8-11 September 1957, saat ia duduk di seksi pembelaan Islam. Pada Muktamar tersebut, diputuskan bahwa ideologi/ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan orang yang menganutnya dengan penuh keyakinan dan kesadaran adalah kafir. Selanjutnya, muktamar menegaskan bahwa komunisme merupakan musuh Islam terbesar.

Pada tahun 1954, Wali Al Fattah menetapkan untuk mengirimkan utusan dari Jama’ah Muslimin (Hizbullah) ke konferensi rakyat anti komunis, yang berlangsung di Taipeh pada akhir September 1954. Ia juga mendukung berdirinya Front Anti-Komunis di Jawa barat dan Jawa Timur serta tingkat perjuangan anti komunisme internasional pada tahun tersebut.

Pada tahun 1964, setahun menjelang pecahnya pemberontakan Gerakan 30 September (G 30 S) PKI, Wali Al Fattaah bersama sejumlah muslimin ditahan atas fitnah PKI. Ketika itu ia sedang mengadakan pengajian di Lagowa, Tanjung Priok. Ia ditahan di Sampur (Zond Voont), Tanjung Priok selama 6 bulan, sedangkan sejumlah muslimin lainnya, yakni Suja’i, Surya, Dasimin, MS. Abu Thoro, Muhammad Said, Husni, Ahmad Mukti, Syarif, Aly dan Muhyiddin Hamidy ditahan selama dua minggu di tempat yang terpisah di Tanjung Priok.

Di bawah komando Pangkostrad Mayjen Soeharto dengan ujung tombak Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia, terutama kaum muslimin, ABRI berhasil menumpas PKI dengan G 30 S-nya yang didalangi oleh Kolonel Untung cs dari resimen Cakrabirawa.

Tokoh Wartawan Muslim dan Jabatan di Pemerintah

Selain sebagai tokoh pergerakan di kalangan muslimin, Wali Al Fattaah juga dikenal sebagai seorang wartawan muslim. Karirnya di bidang jurnalistik dimulai pada tahun 1928 M. Dalam usia 20 tahun, ia menjabat sebagai redaktur mingguan Pemberita Kemajoean di Surabaya. Mingguan ini kemudian berganti nama menjadi Indonesia Bersatoe. Pada saat yang bersamaan, Wali Al Fattaah juga menjadi redaktur koresponden Jawa Timur harian Bintang Timoer yang terbit di Jakarta di bawah pimpinan Parada Harahap, berkedudukan di Surabaya.

Pada tahun 1929 M, Wali Al Fattaah diangkat menjadi wakil pimpinan Redaksi Medan Doenia di Semarang, (pemred. R.M. Tjondrokusumo). Pada tahun berikutnya, 1930 ia menjabat redaktur harian Bintang Mataram urusan luar negeri di Yogyakarta (pemred. J. Drijowongso). Selanjutnya, pada tahun 1931-1934, Wali Al Fattah menjabat sebagai redaktur harian Moestika urusan dalam negeri di Yogyakarta (pemred. H. Agus Salim). Di samping itu, Wali Al Fattaah juga menjadi redaktur tengah bulanan Doenia Pegadaian Perserikatan pegadaian Bumi Putera (PPPB) di Yogyakarta, pembantu mingguan Adil di Solo, milik Muhammadiyah di bawah pimpinan Soerono Wirohardjono. Pada tahun 1940 Wali Al Fattaah menjabat sebagai redaktur harian Islam bergerak.

Pada tahun 1941, Wali Al Fattaah menjabat ketua Umum Pengurus Besar Wartawan Muslimin Indonesia (Warmusi) di Yogyakarta, yang semula berpusat di Medan, Sumatera Utara. Organisasi ini memiliki anggota yang tersebar di Sumatera dan Jawa. Warmusi dipandang berwibawa sehingga pendapatnya didengar masyarakat dan pemerintah.

Dalam pemerintahan, Wali Al Fattaah bekerja di Kementerian Dalam Negeri. Pada Tahun 1950, ia diangkat menjadi Residen pada Kementerian Dalam Negeri RI Kemudian diangkat menjadi Ketua Inter-departemental Penyelesaian Darul Islam. Pada tanggal 25 November 1950 31 Oktober 1951, menjadi Acting Kepala Bagian Politik Kemudian dari 1 Oktober 1952-11 Desember 1958 sebagai Kepala Biro Politik Dan pada tanggal 1 Januari 1961 hingga 31 Oktober 1964 menjadi Kepala Ketataprajaan Kementerian Dalam Negeri.

Setelah pensiun, Wali Al Fattaah lebih memfokuskan perhatiannya untuk menyeru kaum muslimin agar kembali pada khiththah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mewujudkan kesatuan bulat muslimin di bawah satu pimpinan. Ia memberikan dakwah secara lisan dan tulisan serta menyelenggarakan berbagai musyawarah besar dengan mengetengahkan dalil-dalil qath’iy tentang kewajiban kaum muslimin menetapi jama’ah dengan satu Imaam. Musyawarah terakhir yang diselenggarakannya adalah Musyawarah Alim Ulama dan Zu’ama, Organisasi-organisasi Islam tingkat puncak seluruh Indonesia pada tanggal 15-17 Juni 1974 di Aula Masjid Agung Sunda kelapa, Jakarta.

Musyarawarah ini juga dihadiri oleh intelektual muslim, seperti Drs. Ali Imran Qadir, anggota DPR dan MPR, Drs. Zubaidi Badjuri, A. Karim S.H., Dr. Ali Akbar, Letjen Ali Murtopo, K.H. Badri Sanusi, Prof. Kamil Kartapraja, K.H. S.S Jam’an, Kyai Jalaludin B.A., M. Dahlan Lanisi B.A. Pada musyawarah tersebut, para ulama yang mewakili umatnya masing-masing memberikan respon positif dan membenarkan dalil-dalil qath’iy tentang wajibnya berjama’ah bagi muslimin.

Hingga dua tahun sesudah musyawarah besar tersebut, Wali Al Fattaah masih menyerukan kaum muslimin agar kembali kepada Allah dan Rasul-Nya seraya berjama’ah dengan satu Imaamnya. Pada hari Jum’at, 27 Dzulqa’dah 1396 H (19 November 1976 M) ia dipanggil ke Rahmatullah dengan tenang di Banyumas Jawa Tengah dalam usia ± 70 tahun (menurut perhitungan tahun Hijriyah) atau ± 68 tahun (menurut perhitungan tahun Miladiyah). Ia wafat sepekan setelah memberi petunjuk kepada lima hamba Allah, yakni Mas’ud Muradi, Abdullah Fadhil Aly Siraj, Ahmad Ihsan Putra, Saefuddin, dan Sirajuddin bin Arsyad, tentang cara memilih Imaam pengganti dalam Jama’ah Muslimin (Hizbullah).

Jenazah Wali Al Fattaah dimakamkan di Pemakaman Tambak, Banyumas, Jawa Tengah pada hari Sabtu 28 Dzulqa’dah 1396 H (20 November 1976 M), setelah dibai’atnya pengganti Imaamul Muslimin, yakni hamba Allah Muhyiddin Hamidy.

Baca Juga : Sejarah khilafah Alaminhajinn nubuwwah

Post a Comment

Previous Post Next Post